February 28, 2024
Behind The Cover: Berkaca Diri Melalui Imaji - Inashifa
Membuka lembaran album foto dan memandang potret diri saat beranjak. Saya adalah salah satu orang yang beruntung, karena proses saat beranjak terdokumentasikan dengan sangat baik. Sumringah, sedih, atau gusarnya bocah kecil yang sudah tidak mood untuk di potret, tampak terekspresikan dengan jujur dalam foto-foto tersebut. Memang, ingatan tentang momen-momen tersebut tidak lagi utuh, dapat dikenang tapi bukan berarti akan sama rasanya. Namun, bernostalgia selalu punya ruangnya sendiri, mengurai hal-hal yang baru dapat terurai oleh diri dewasa kini, memeluk sang bocah kecil dari apa yang dirasanya kurang adil saat itu.
Lantas apa jadinya ketika saya melihat potret diri di masa kini?
Ya, saat beranjak dewasa, ketakutan untuk melihat diri sendiri hanya melalui selembar foto semakin membuncah. Kesadaran bahwa tidak lagi tampak kejujuran dalam berekspresi, cukup menganggu saya. Toh semakin dewasa, kita memang semakin ingin tampil sebaik mungkin, bukan? semakin pandai pula untuk berkamuflase. Rasa bahagia yang biasanya hadir saat di potret berangsur-angsur menjadi perasaan hambar, saya jadi cenderung tidak suka di potret, dan lebih memilih menjadi pemotret yang mengabadikan momen.
Sampailah pada suatu titik, dimana saya dihadapkan pada sebuah persoalan relasi rumit dan cukup menganggu. Pikiran njelimet luar biasa! bak benang kusut yang sukar di urai. Saya sadar, saat itu saya hanyalah pencemas handal, yang belum cukup berkapasitas untuk dapat mengurai permasalahan secara rasional. Maka menemukan media pengurai adalah sebuah jalan keluar, agar tidak lagi pengecut untuk menghadapi soal.
Jendela Bidik untuk Melihat Diri
Kembali pada kesadaran “melihat potret diri, dapat membantu mengurai persoalan yang belum tuntas”. Saya akhirnya memutuskan untuk memulai membuat projek foto seri, yang sekaligus di peruntukan untuk pertanggungjawaban akademik saya. Persoalan rumit yang saya rasakan dicoba untuk diuraikan melalui visual, dengan harapan dapat menantang kecemasan saya untuk menghadapi, mengurai, dan menerima persoalan yang terjadi. Dalam serangkaian karya foto seri ini tidak semua berbentuk potret diri, namun yang akan terbahas disini hanyalah salah satu karya potret diri, yang menjadi titik penyadaran saya untuk segera bangkit dari jatuh.
Berbicara tentang fotografi sebagai media pengurai diri, praktik ini ternyata sudah dilakukan sejak lampau. Menurut Steven dan Spears, fotografi diyakini pertama kali digunakan sebagai media terapi visual untuk pasien di Rumah Sakit Jiwa pada tahun 1950-an. Awalnya pada tahun 1940-an fotografi digunakan sebagai media distraksi juga terapi untuk para prajurit perang, yang kemudian diperluas dan dipergunakan pada rumah sakit sipil untuk para pasien dengan gangguan psikologis juga disabilitas fisik, yang juga berkembang hingga saat ini.
Memotret dan melihat foto, dapat membantu kita untuk memahami dan menyadari pentingnya sebuah peristiwa. Halkola menyampaikan bahwa foto adalah bagian dari realitas, tapi juga memberikan ruang untuk menafsir ulang. Dan pada terapi, foto diambil, dilihat, dan juga dialami bersama.
Bagaimana jika subjek yang di potret adalah diri sendiri? itupun hal yang lumrah! Kita berkesempatan untuk dapat bertemu dengan sisi diri yang sesungguhnya, atau bahkan sisi lain dari diri kita. Menurut Nuñez, praktik potret diri ini seperti berdialog dengan batin yang persis seperti proses terapi, yaitu; presepsi diri, mempertanyaan diri, penilaian, pemikiran, dan berakhir dengan penerimaan. Maka saya memulai perjalanan saya, dengan kamera sebagai jendela bidik untuk melihat diri.
Menderu Diri
51,2 cm x 38,5 cm
Chemical experiments on photo paper
2023
Menderu Diri. Bertemu dengan persoalan paling pelik, ternyata kapasitas saya saat itu belum cukup untuk dapat menghadapinya. Saya berlomba dengan pikiran sendiri, mencari kesalahan diri yang paling patut untuk dipermasalahkan. Rasanya seperti duduk di kursi pesakitan, yang dihakimi oleh diri sendiri. Kiranya tangan-tangan yang mencoba mencengkeram saya, adalah gambaran bagaimana saya tak hentinya menyalahkan diri, dan plastik yang melapisi wajah saya adalah kondisi yang saya rasakan saat itu, menyesakkan!
Apa yang baru saja saya uraikan ini, baru dapat saya terima sesaat setelah karya ini rampung di garap, saat saya mengambil waktu untuk melihat diri saya di selembar kertas foto yang tintanya luruh akibat interaksinya dengan cairan kimia. Saya tahu situasi ini mungkin agak membingungkan bagi anda, bagaimana perasaan tersebut baru dapat saya terima setelah karya rampung? Jadi, saya akan mengajak anda untuk sedikit berjalan ke belakang dan menilik proses kreatif yang saya lakukan dalam karya ini.
Sebelum saya melakukan pemotretan, saya mengais kepingan-kepingan memori dari serangkaian peristiwa yang terjadi pada saat itu. Sebuah simpulan yang bisa saya dapatkan adalah pada momen itu saya terus menyalahkan diri, dibalut dengan kemarahan dan rasa sedih tak berujung. Dari simpulan tersebut, barulah saya transformasikan kedalam bayangan visual secara kasar.
Visual yang baru terbayang saat itu hanyalah diri saya yang di cengkeram oleh beberapa tangan (tapi belum dengan posisi pastinya) sebagai penggambaran saya yang menyalahkan diri sendiri. Pengembangan visual lainnya (posisi cengkeraman, warna pencahayaan, dan pelapisan wajah dengan plastik) justru dilakukan pada saat saya sudah berhadapan dengan kamera, ketika saya menstimulus diri untuk ‘kembali’ berada di masa itu.
Hal itu sungguh sangat menyesakkan, karena emosi seketika merasuki diri, ketika ego “ketidak-terimaan” itu sudah berhasil di luruhkan. Marah, sedih, dan sakit, akhirnya cukup terekspresikan dengan jujur. Setelah foto dihasilkan, sentuhan terakhir dari proses kreatif pada karya ini adalah eksperimentasi dengan mencelupkan cetakan foto ke cairan larutan kimia, untuk menghasilkan efek tinta yang luruh, sebagai pemaknaan memori yang terdistorsi seiring berjalannya waktu. Ibarat bumbu penyedap pada makanan, proses ini yang membuat rasa semakin jelas dan membuat saya dapat menelan semua apapun rasanya.
Kembali pada waktu sesaat setelah karya ini rampung di garap, saat saya mengambil waktu untuk melihat diri saya pada selembar foto tersebut, rasanya seperti dihardik berkali-kali. Jika kamera itu dapat berucap, saya kira begini akan seperti ini dialognya “Terimalah, ini adalah kenyataan yang terjadi, ini adalah sisi terjujurmu yang bisa ditangkap!”. Saya akhirnya dapat mengurai apa yang saya rasakan, Mata kamera itu ternyata berhasil menangkap apa yang saya berusaha kubur, yaitu sisi diri saya yang paling hancur.
Belenggu tersebut akhirnya luruh, memunculkan sebuah penerimaan. Menerima bahwa persoalan tersebut memang terjadi, menerima bahwa karenanya saya kacau balau, menerima bahwa saya memang harus jatuh untuk paham bagaimana caranya berdiri kembali. Saya akhirnya dapat melihat kembali potret diri, dengan ekspresi yang jujur. Saya akhirnya dapat bertemu dengan diri, melalui fotografi.