Magazine Cover
March 8, 2024

Menakar Risografi dalam Pembuatan Buku Foto - Kurnia Ngayuga Wibowo

Foto : Geffir, Graphic Handler, 2024

Sore itu, Azhar Fathurrohman, salah satu orang dibalik Graphic Handler, penerbit dan percetakan risografi di Cirebon menanyakan suatu hal kepada saya, “Yug, kenapa RAWS gak pake risografi buat bikin buku fotonya?”.

Pertanyaan itu tentu saja membuat saya kebingungan, karena saya tidak memiliki otoritas untuk menjawab hal itu sebagai perwakilan dari RAWS Syndicate. Tetapi, pertanyaan Azhar itu menarik perhatian saya untuk mencari tahu lebih lanjut, kenapa praktik risografi jarang diaplikasikan pada pembuatan buku foto.

Kita mungkin kian familiar dengan risografi, jenis cetak yang menggunakan mesin import dari Jepang bernama Riso. Mesin ini mampu mencetak ratusan lembar kertas dengan cepat, atau sekitar 150 lembar permenitnya.

Sistem kerja mesin ini mirip dengan sablon, yakni menggunakan screen sebagai media cetak. Screen tersebut berupa lembaran kertas yang dikemas menyerupai drum dan ditempatkan pada mesin untuk kemudian dipanaskan menyesuaikan dengan konten cetaknya, sehingga menghasilkan semacam afdruk untuk mencetak setiap lembar kertas yang masuk.

Mesin ini juga disebut sebagai duplikator, karena teknis kerjanya yang menduplikasi. Sebagai contoh pada beberapa mesin riso keluaran lama, satu-satunya cara untuk mencetak adalah dengan melakukan proses scan pada mesin, kemudian hasil scan tadi diproses untuk diduplikat atau diperbanyak.

Oleh karenanya proses separasi warna dilakukan secara manual, yakni membuat master dari masing-masing warna untuk kemudian discan berdasarkan urutan timpaannya. Sementara untuk mesin keluaran baru, seperti yang dimiliki oleh Graphic Handler sudah mampu mengirimkan file gambar melalui komputer, sehingga proses separasi warna sudah bisa dilakukan dengan lebih mudah.

Mencetak dengan risografi terbilang ekonomis dan eco-friendly, setidaknya itulah dua diksi yang biasa Izhar Fathurrohim (saudara kembar Azhar) andalkan ketika mengisi sebuah panel diskusi, maupun lokakarya. Dua diksi tersebut tentu saja beralasan, karena biaya (cost) untuk mencetak menggunakan mesin riso murah (dengan minimal kuantiti tertentu), bahan baku tintanya menggunakan bahan dasar gabah beras atau kedelai, dan screen yang berfungsi sebagai media cetaknya yang berasal dari bahan organik, sehingga limbahnya bisa diolah ataupun didaur ulang.

Belakangan, praktik mencetak karya art print dan art book di Indonesia dengan menggunakan risografi semakin diminati, setidaknya hal itu yang saya amati ketika menghadiri gelaran Jakarta Art Book Fair pada 2023 lalu. Banyak dari pelapak (booth) yang menggunakan risografi sebagai media cetak karyanya. Walaupun sebenarnya KUNCI Copy Station sudah sejak lama memanfaatkan penggunaan teknologi tersebut.

Dengan kekhasan karakter yang dimiliki, mulai dari palet warna yang dominannya berwarna cerah, karakter grainy pada hasil cetakan, hingga adanya ketidakpresisian pada setiap layer yang dihasilkan, justru menjadikan risografi memiliki tempat tersendiri di hati penikmatnya yang umumnya bermain pada seni grafis, desain, ilustrasi dan tipografi. Namun, apakah karakter itu juga yang dibutuhkan oleh fotografer dan penerbit dalam membuat buku foto?

Buku foto sendiri merupakan sesuatu yang kompleks, terdapat kesatuan elemen antara foto, teks, desain, konsep dan penggunaan material yang dipilih agar pesan yang termuat dapat terkomunikasikan dengan baik. Jika salah satu dari hal itu tidak sesuai pada tempat dan penggunaannya, maka akan adanya bias bagi pembaca dalam memahami pesan dalam buku foto yang sedang dinikmatinya.

Foto : Tangkap layar publikasi Kamboja Press

Penggunaan risografi pada buku foto sebenarnya juga sudah dilakukan oleh beberapa penerbit dalam skala global, sedangkan di Indonesia, kita mengenal Kamboja Press yang mengandalkan teknik cetak ini untuk setiap publikasinya dan hal itu juga yang pada akhirnya menjadikan semacam signatur tersendiri bagi penerbit independen yang dikabarkan non aktif untuk sementara dan mengubah haluan ke Petrikor Books.

Akan tetapi, permasalahannya tidak semua proyek fotografi akan sesuai jika diaplikasikan dengan menggunakan risografi dan hal ini bukanlah tanpa alasan, mengingat adanya karakter yang khas (jika tidak boleh menyebutnya sebagai ketidak-sempurnaan) dari hasil cetak risografi itu sendiri. Contoh yang paling krusial ketika diaplikasikan pada foto adalah soal ketidak-presisian antar layer, mengingat separasi warna pada risografi mengandalkan layer yang bertumpuk.

Hal itu sudah saya konfirmasi ke Izhar (kembaraan Azhar) dari Graphic Handler, bahwa paling minimal adanya pergeseran sebesar 0.1 mm antar layer dan itu menimbulkan semacam glitch pada foto yang dihasilkan.

Hal tersebut tentu tidak menjadi soal jika memang karakter itu yang dibutuhkan dan sesuai dengan proyek foto yang dikembangkan, semisal foto pada proyek tersebut adalah hitam putih, ataupun memang ingin melakukan eksperimen tertentu dengan medium risografinya itu sendiri. Namun jika tidak, akan ada semacam ketidaktepatan presentasi medium yang digunakan, akibatnya pesan yang ingin disampaikan menjadi terganggu.

Foto : Tangkapan layar Buku Foto “Rebel Riders” - Muhammad Fadli

Agar lebih mudah dalam memahami hal tersebut baiknya kita coba buat semacam simulasi, sebagai contohnya kita pinjam dari buku foto “Rebel Riders” karya Muhammad Fadli. Dalam karya tersebut, Fadli menggunakan kamera medium format untuk mengejar hasil yang sempurna dan mengangkat detail dari setiap subjek fotografinya, baik pengendara, maupun motor dan setiap ornamennya. Oleh karenanya, ia atau Dienacht Publishing selaku penerbit memutuskan untuk menggunakan cetak offset untuk mengejar setiap detail pada foto dan kesesuaian dengan hasil foto aslinya. Sementara jika menggunakan riso hasilnya akan berbeda.

Adanya jarak antara buku foto dan cetak riso mungkin juga berangkat dari kecenderungan fotografer untuk mencetak karya mereka dalam bentuk fine print, seperti inkjet, C-Print dan lain sebagainya. Sehingga ketika karya print yang sebelumnya terpajang pada eksibisi untuk kemudian ingin diaplikasikan dalam bentuk buku foto, perlu kiranya mengejar karakter yang sama dari fine print tersebut. Ataupun sederhananya kalibrasi warna yang mereka lakukan pada monitor dalam proses editing, memiliki kesamaan dengan hasil cetaknya.

Saya pernah menyaksikan betapa Prasetya Yudha (SOKONG! Publishing) mengupayakan hasil cetak yang sesuai dengan apa yang dia inginkan dengan melakukan test print berkali-kali dan berpindah dari satu percetakan ke percetakan lainnya di Yogyakarta. Pras bahkan memiliki pemetaan percetakan yang berbeda antara buku foto yang satu dengan lainnya, hingga antara cover dengan isinya. Ia bahkan sudah hafal dengan masing-masing karakter hasil cetak pada percetakan yang ada di Yogyakarta, luar biasa bukan?

Hal yang sejalan dan tak kalah krusial juga disampaikan oleh Jorg Colberg dalam bukunya “Understanding Photobooks”(2016), bahwa “a photobook is the translation of a set of photographs into the form of a book. The book’s physical properties provide restrictions on what can be done in book format. It is important to see how the concept of the body of work in question can be translated into this very specific form of presentation.”. Hal ini menunjukkan bahwa proses transformasi tersebutlah yang menjadi salah satu gawang keberhasilan dalam memproduksi buku foto.

Jika kita melihat dalam ruang lingkup yang lebih sempit, rata-rata penerbitan buku foto independen di Indonesia mengandalkan digital print sebagai alat tempur mereka. Langkah tersebut mereka pilih sebagai alternatif dari cetak offset yang memerlukan biaya besar (high-cost) dan produksi yang masif, sedangkan keduanya diluar kapasitas mereka, saya menyaksikannya ketika mengikuti Photo Publishing Forum pada tahun 2023 lalu.

Ada alokasi dana yang kiranya bisa digunakan untuk kebutuhan lain dan ada kapasitas gudang (warehouse) yang terbatas ketika sebuah buku foto selesai di produksi. Belum lagi proses memasarkan dan menunggu buku foto itu terjual biasanya membutuhkan waktu yang lama, atau bahkan gigit jari karena kurang diminati.

Izhar mungkin bersikukuh bahwa risografi memiliki keunggulan dari harga cetaknya yang ekonomis, tetapi untuk sampai pada titik ekonomis tersebut, setidaknya penerbit buku foto independen perlu mengejar kuantiti tertentu, sementara jumlah kuantiti tersebut umumnya jarang ditempuh oleh mereka. Permasalahan jumlah kuantiti minimum ini juga merupakan alasan yang sama kenapa banyak dari mereka menggunakan digital printing, daripada offset.

Dengan demikian, saya tidak bermaksud menyudutkan risografi sebagai teknik cetak yang problematik, tetapi setidaknya kita mengetahui bahwa ada banyak variabel kenapa kemudian penerbitan buku foto terlebih di Indonesia jarang menggunakan risografi sebagai senjata andalan mereka.

Sebenarnya dilain sisi, ada beberapa peluang yang bisa ditempuh jika kita menggunakan risografi sebagai alternatif medium publikasi, seperti ekonomis dan eco-friendly, serta yang terpenting dari semua itu adalah peluang untuk melakukan cross-selling, yakni produk buku foto yang menggunakan risografi memiliki kemungkinan untuk menjangkau pasar baru, ataupun pasar yang sudah ada, seperti art-book, maupun teman-teman kolektor yang awam terhadap buku foto dan fotografi, tetapi memiliki minat dan obsesi berlebih pada risografi.

Foto : Tangkapan layar buku foto “Un cuerpo escupe sol” - Ana Lía Orézzoli

Bahkan Colberg dalam salah satu artikelnya berjudul “Un cuerpo escupe sol” menaruh apresiasi terhadap tiga buku foto yang mengggunakan teknik risografi, yakni “African Spirits” oleh Samuel Fosso, “Faglarna” oleh Theo Elias, dan seperti judul artikelnya “Un cuerpo escupe sol” oleh Ana Lía Orézzoli. Karena menurutnya ketiga buku itu sesuai dengan penggunaan mediumnya. Ia juga beranggapan, bahwa lama kelamaan penggunaan inkjet pada buku foto mengakibatkan hilangnya karakter, karena hasil cetaknya yang cenderung seragam.

Jika risografi ditempatkan sebagai alternatif cetak, khususnya dalam konteks buku foto, hal itu menjadi tantangan dan pertanyaan, baik bagi penerbit, percetakan riso, maupun fotografer, yakni sudah sejauh mana sebenarnya eksplorasi kekaryaan yang dilakukan pada mesin tersebut? Atau bahkan permasalahan terbesar diantara ketiganya justru terletak pada pola hubungan sosialnya sendiri, yakni mereka tidak berada pada lingkaran yang sama, atau bahkan bertubrukan?***