Magazine Cover
March 8, 2024

Performativitas Senyuman Ditinjau dari Atas Jok Astrea Prima - Ragil C. Maulana

Hubungan saya dan pagi tidak terlalu akrab. Sebagai kognitariat yang banyak menggunakan waktu malam untuk bekerja, saya kerap baru terlelap setelah subuh, ketika langit masih dikuasai gulita, lalu terjaga ketika matahari siang sudah berkobar sepanas neraka. Namun demikian, pada suatu hari yang senggang baru-baru ini, saya tidak sengaja tidur dengan tertib sesuai jam biologis manusia pada umumnya. Perjumpaan yang canggung dengan pagi pun tak terelakkan.

Konon, alangkah bijaksananya pabila kita memulai pagi dengan sarapan. Maka daripada itu, ketimbang bengong tidak jelas, saya langsung cuci muka dan segera menyambar kunci Astrea Prima kesayangan. Motor dinyalakan, nasi uduk menjadi tujuan. Kebudayaan dimulai.

Dari rumah kontrakan di Minomartani, motor saya arahkan ke Jalan Kaliurang via Pasar Kolombo. Saat itu Minggu, dan tidak banyak warga Jogja pergi bergegas di akhir pekan. Lalu lintas selow sekali. Saya memacu motor dengan santuy, sambil memantau kiri-kanan secara seksama. Besar harapan saya bakal menemukan lapak nasi uduk yang mangkus dan sangkil. Motor menanjak perlahan ke utara. Sampai di pertigaan Jalan Kapten Haryadi, harapan saya pupus belaka. Tiada satu pun lapak nasi uduk sepanjang jalan. Saya malah menjumpai tiga spanduk promosi dari restoran-restoran kondang (nama tidak perlu disebut, ada harga buat endorse). Tiga spanduk itu sama-sama berisi promosi, tapi dengan desain dan foto berbeda-beda. Spanduk-spanduk itu menyita perhatian saya.

Tidak jauh dari spanduk terakhir, saya menepikan motor. Mesin dimatikan, parkir. Sebatang rokok lalu dibakar. Saya menatap foto di spanduk lekat-lekat. Pagi masih panjang, jalanan separuh lengang. Di atas jok Astrea Prima yang seempuk sofa, sebuah permenungan berlangsung:

Spanduk pertama yang saya jumpai mengandung foto semacam keluarga besar, lengkap dari kakek-nenek sampai cucu dan (mungkin) kemenakan, mereka tengah duduk di hadapan sepaket menu keluarga. Spanduk kedua juga memuat foto semacam keluarga, tapi yang ini hanya berisi suami-istri dan sepasang anak laki-perempuan, juga tengah menghadapi hidangan mereka. Foto di spanduk ketiga berisi sepasang suami-istri yang duduk mengapit seorang bocah lelaki, tangan mereka menjamah semacam ayam goreng.

Salah Satu spanduk di Jalan
Foto : arsip pribadi

Tata busana orang-orang dalam foto cukup menunjukkan status sosial-ekonomi mereka sebagai kelas menengah urban. Perempuan dewasa dalam foto tampak berjilbab. Ketiga spanduk itu punya slogan dengan redaksi berbeda, tapi esensinya serupa, bunyinya begini kira-kira: nikmatilah momen bersama keluarga di sini! Semua orang yang ada dalam foto pada ketiga spanduk itu tersenyum lebar, beberapa bahkan menampakkan gigi. Nah, detail kecil nan remeh inilah yang justru menyita perhatian saya.

Senyuman dan fotografi kerapkali diikat-erat oleh tali-temali siasat dagang. Meski pada masa awal kelahiran fotografi orang jarang tersenyum ketika difoto, kini senyuman telah menjadi suatu keniscayaan, bahkan menjadi semacam piranti kunci dalam fotografi komersil—terutama dalam konteks iklan. Coba Anda bayangkan, apa jadinya pabila senyum lebar absen dari wajah-wajah di ketiga spanduk tadi? Keseluruhan pesan promosinya jadi ambyar, slogan yang melengkapinya akan terasa hambar.

Bayangkan foto sekumpulan orang dengan wajah lempeng duduk di depan meja makan, Anda mungkin mengira mereka hendak menyantap makanan terakhirnya sebelum dieksekusi mati. Dalam iklan, apalagi iklan hospitality industry, senyuman tidak hanya memberi nuansa persuasif. Ia sejatinya juga memuat beberapa hal penting.

Restoran-restoran yang mendesain ketiga spanduk berisi foto keluarga-bahagia itu sebenarnya sama sekali tidak sedang mempromosikan menu mereka. Sebab, bilamana fokus promosinya pada menu, foto utama yang ditampilkan di spanduk seharusnya adalah hidangan andalan mereka dalam wujudnya yang paling menggiurkan, yang paling menggoda, bukannya foto sekumpulan manusia tersenyum. Tapi, pilihan fotografis yang tampil di ketiga spanduk itu sangat bisa dipahami.

Komoditas inti yang sedang dipromosikan ketiga restoran itu adalah semacam perasaan bungah. Perasaan itu secara visual diperlambangkan sebagai senyuman lebar. Lewat spanduk-spanduknya, para pengelola restoran itu seolah hendak berkata: datanglah ke sini beramai-ramai, Anda bisa membeli kenyang dan senang. Senyuman juga menjadi perlambang kepuasan konsumen.

Di sinilah performativitas senyuman bekerja sebagai bahasa visual. Senyuman mematerielkan segala konsepsi abstrak tentang kebahagiaan, kenikmatan, dan kepuasan; ia menerjemahkan semua itu ke dalam gerak tubuh yang lalu terekam melalui fotografi. Performativitas ini menabalkan suatu brand image tertentu di benak khalayak, sekaligus menandai atensi pengelola brand terhadap customer experience.

Senyuman dalam spanduk promosi itu juga menyampaikan suatu janji, sebuah tawaran ekspektasi: hidangan dan layanan di restoran kami terjamin mantab tanpa cela! Sebab, mungkinkah orang akan tersenyum lebar pabila daging ayam goreng yang dikunyahnya terasa seperti sandal gosong? Jelas tidak.

Senyuman dalam spanduk hendak mentransfer keyakinan semacam itu pada publik, agar supaya tiada keraguan sedikit pun untuk menghamburkan uang di ketiga restoran itu. Tentu saja, performativitas semacam ini bekerja untuk mendongkrak penjualan. Bisakah berhasil? Sangat bisa, selama restoran memang menyajikan kualitet yang dijanjikan. Namun demikian, konsep foto keluarga-bahagia pada ketiga spanduk tadi bukannya tanpa persoalan.

Tentu konsep foto yang demikian itu sah-sah saja sebagai sebuah strategi niaga, sebagai siasat menjaring target konsumen yang sangat spesifik (keluarga muslim kelas menengah urban). Namun, kita juga senantiasa bisa mengajukan tanya: jikalau yang hendak dibangun adalah imaji keluarga-bahagia, kenapa imaji itu mesti diperlambangkan oleh foto keluarga heteroseksual-monogamis? Tidak bisakah foto sekumpulan kawan yang akrab mewakili imaji keluarga-bahagia? Bukankah para mahasiswa rantau di Jogja juga biasa makan bareng sebagai keluarga?

Lalu kenapa pula imaji keluarga-bahagia harus ditandai dengan kehadiran anasir visual anak? Apakah sepasang suami-istri childless/childfree tidak cukup bisa mewakili imaji keluarga-bahagia? Bukankah mereka juga bisa datang ke restoran dengan sama bahagianya seperti pasangan yang beranak-pinak? Apakah perlambangan imaji keluarga-bahagia itu berada dalam kungkungan kuasa heteronormativitas dan pronatalitas? Jika toh benar demikian, apakah itu berarti keluarga muslim kelas menengah urban harus seiya-sekata pada kuasa itu?

Saya tidak tau apakah pertanyaan-pertanyaan berat dan melantur itu terpikirkan oleh manajemen restoran dan desainer spanduk, juga oleh agensi/studio dan fotografer yang terlibat. Satu hal yang saya tau pasti saat itu ialah fakta bahwa perut ini masih belum diisi. Telaah fotografis membuat lapar menjadi-jadi. Pengganti nasi uduk mendesak untuk dicari. Fotografi bisa dilanjut nanti, lain kali.